Ingatan Pertama
Di tempat yang disebut bumi
ini, rupanya sudah banyak orang yang hadir lebih dulu dariku. Namun, apakah
mereka sama sepertiku? Bertanya-tanya tentang kehadiran kita di muka bumi?
Orang demi orang hadir, lalu
mereka hilang. Hidup dan mati silih berganti.
Seperti sebuah siklus pengulangan
yang terencana, namun dengan jiwa (ruh) yang berbeda.
“Untuk apa aku dihidupkan?”
Saat tanya itu kulemparkan dalam
hati, dengan penuh harap aku ingin diri ini bisa memberi jawaban atas tanyaku
tersebut.
Entah kenapa, semakin dalam
tanya itu terus kulemparkan dalam hati, semakin kurasakan diri ini merasa
takut, kesepian, resah dan menangis sedih.
Dari situ aku mulai sadar,
bahwa diri ini bukan tunggal milikku seorang, tapi ternyata diri ini ada sang
Maha memiliki.
Kemudian aku teringat saat
kecilku, saat di mana aku ingat untuk pertama kali, saat di mana aku ingat
tentang ingatan pertamaku.
Mataku sudah pada posisi
terbuka dan melihat jelas, tangan memegang tiang pintu, dengan mulut berceloteh
(entah kata apa yang kuucapkan) sambil kegirangan karena dipakaikan celana baru
untuk bermain oleh Ibuku.
Kurang lebih, mungkin bocah
seusia 2 tahun. Sebab seingatku celana itu ururannya begitu kecil.
Setelah selesainya celana
dipakaikan Ibu, secepatnya aku berlari sekuat tenaga. Kemudian langkahku terhenti
di halaman tempat ibadah, bertemu dengan sosok lelaki bernama Acep.
Aku pun heran, mengapa aku
sudah mengenalnya? Padahal seingatku, itu adalah rangkaian peristiwa dari
ingatan pertamaku.
Tak panjang pikir, Acep yang
waktu itu usianya sekitar 10 tahun langsung mengajakku bermain. Entah sekedar
iseng atau apa.
Seketika itu pula tiba-tiba
aku berlari memutari Acep secepat yang aku bisa. Acep pun mulai melemparkan kerikil
dan bulatan tanah kecil dengan pelan ke arahku.
Aku pun terus berlari berputar
dengan bangga karena apa yang Acep lemparkan tidak berhasil mengenaiku.
Pada saat sedang lari berputar
itu, tiba-tiba sesuatu (seperti akal) dari diri ini seakan mulai sadar dan bertanya
sendiri, “Kenapa aku ada di sini?”, “Kenapa aku berputar-putar?”
Sementara sesuatu itu sendiri
tak bisa menghentikan gerak tubuhku yang sedang berlari.
Saat sesuatu itu meminta
tubuhku untuk berhenti berlari, seketika itu pula tubuhku berhenti berlari. Aku
pun terdiam.
Pada saat yang sama, Acep
berhasil mengenaiku dengan lemparannya tepat di celana baru itu.
Aku pun dengan refleks
langsung menengok celanaku yang terkena lemparan. Rupanya apa yang Acep
lemparkan adalah tanah sedikit basah, yang memberikan bekas tanah pada celana.
Seingatku, itu adalah noda
pertama yang kudapatkan.
Lalu, aku pun beranjak
pulang ke rumah untuk menemui Ibuku, dengan harapan ia tak memarahiku karena
noda itu di celana baru yang ia baru saja berikan.
Kini, saat kuingat kembali rangkaian
peristiwa itu, aku sangat bersyukur, karena saat itu aku tahu jalan pulang
sehingga tak kesasar, dan aku sangat bersyukur karena saat itu aku tahu tempat
pulang, yaitu rumah dan Ibuku.